Dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia,
terdapat banyak sekali bentuk kepercayaan (iman). Dalam hal fundamental,
perbedaan-perbedaan itu berkonsekuensi kepada benar dan salah. Karena itu,
kepercayaan kepada yang fundamental itu haruslah benar secara mutlak. Bercampur
dengan kekeliruan akan menyebabkan batal, sama nilainya dengan keliru secara
mutlak.
Islam
membangun konsepsi iman kepada enam hal, yang oleh para ulama’ didefinisikan
sebagai rukun iman, yaitu: iman kepada Allah, para malaikat, para rasul, kitab-kitab
suci agamaNya, hari akhir, dan qadar (baik dan buruknya). Pengetahuan tentang
rukun iman tersebut diajarkan oleh Malaikat yang menampakkan diri sebagai
manusia yang mendatangi Rasulullah saw. saat berkumpul dengan para sahabatnya.
Malaikat
Jibril mengajarkan dengan cara seolah bertanya kepada Nabi Muhammad, tentang
iman, selain islam dan ihsan, tetapi kemudian menjawabnya sendiri, disaksikan
oleh para sahabat yang karena itu menjadi terheran-heran. Orang yang
asal-usulnya tidak diketahui, bertanya, lalu menjawab sendiri pertanyaannya
tanpa diminta.
Namun,
konsepsi tersebut sesungguhnya adalah konsepsi umum yang terdapat pada
agama-agama samawi, termasuk yang kemudian mengalami perubahan (tahrif) dengan
penambahan dan pengurangan. Karena itu, al-Qur’an memberikan kriteria iman yang
benar, sebagai penguat, agar manusia dapat mengetahui dengan pasti mana
konsepsi iman yang benar dan mana konsepsi iman yang telah diubah sehingga ia
menjadi bercampur baur dengan kekeliruan dan menyebabkannya rusak secara
keseluruhan.
Al-Qur’an
memberikan penegasan tentang iman yang benar dengan kriteria sebagai berikut:
Pertama, iman kepada Allah
sebagai satu-satunya sesembahan. Konsepsi ini ditegaskan karena perjalanan
panjang sebuah agama yang dibawa oleh rasul dengan ajaran dasar tauhid
(monoteisme), seringkali diubah oleh pengikutnya, sehingga menjadi syirik
(politeisme). Al-Qur’an menyebut banyak kasus tentang hal itu, di antaranya
kasus kaum Nabi Nuh, ummat Nashrani, dan kaum musyrikun Makkah yang dihadapi
oleh Nabi Muhammad pada awal kenabiannya. Kaum Nabi Nuh, menyembah banyak
sesembahan, yaitu: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka sesungguhnya
adalah orang-orang yang kemudian dikeramatkan untuk lebih memudahkan jalan
lebih dekat kepada Allah.
Ummat Nashrani
percaya kepada tiga oknum yang terkenal dengan istilah trinitas. Selain percaya
kepada Allah, mereka juga percaya kepada dua yang lain sebagai sesembahan,
yaitu: Bunda Maria dan Yesus. Padahal dua yang terakhir itu hanyalah manusia.
Mirip dengan itu, mayoritas masyarakat yang dihadapi oleh Rasulullah juga
menyekutukan Allah dengan yang lain, misalnya al-Laata, al-‘Uzzaa, Manat,
Hubal, dll. Mereka juga menganggap malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah.
Karena itu, konsepsi keimanan dalam Islam dimurnikan dengan memerintahkan Nabi
Muhammad menyampaikan isi surat al-Ikhlash: 1-4. “Katakanlah: “Dialah Allah,
Yang Maha Esa, Hanya Allah-lah tempat bergantung; Dia tidak beranak, serta Dia
tidak pula diperanakkan, Dan tiada satupun yang setara dengan Dia.”
Surat ini,
di namakan al-Ikhlas, berarti pemurnian, walaupun tidak ada kata al-Ikhlash di
dalamnya, karena inti ajarannya adalah memurnikan iman hanya kepada Allah,
tidak menoleransi yang lainnya, baik sebagai anak maupun pasangan yang selevel.
Ajaran senada ini terdapat di dalam QS. al-Fatihah: 5 (Hanya Engkaulah yang
kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.) Kalimat
dalam ayat tersebut diawali dengan batasan berupa frase “hanya Engkaulah”.
Berbeda dengan jika menggunakan kalimat “Kami menyembahmu” yang membuka
kemungkinan juga menembah yang lain. Karena itulah, konsepsi ketuhahan dalam
Islam diungkapkan dengan penetapan setelah peniadaan (al-itsbat min ba’d
al-nafy), Laa ilaaha illaa Allah, tiada sesembahan selain Allah. Bukan sekedar
“Allah adalah sesembahanku”. Sebab, mengakui Allah sebagai sesembahan tidak
pasti menutup yang lain sebagai sesembahan. Seperti kalimat “Aku cinta kamu,
bukan berarti aku tak mendua”.
Beriman hanya kepada Allah saja, ternyata tidak cukup. Sebab,
kalau cukup hanya dengan itu, ummat Yahudi yang secara umum masih monoteis,
mestinya tidak disebut kafir. Faktanya, para pemeluk Yahudi, oleh al-Qur’an
disebut sebagai orang-orang kafir dari golongan ahlu al-kitab. Mereka dilekati
dengan predikat itu karena tidak memenuhi syarat berikutnya yaitu:
Kedua, iman kepada seluruh
rasul. Mulai dari Adam sampai Nabi Muhammad. Konsepsi ini terdapat dalam
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya,
dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan
(tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang
kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu
siksaan yang menghinakan.” (al-Nisa’: 150-151). Ayat-ayat lebih berkaitan
dengan orang-orang Yahudi yang monoteis, dibandingkan orang-orang Nashrani yang
sesungguhnya juga kelanjutan Yahudi, tetapi berubah menjadi politeis.
Orang-orang
Yahudi dan Nashrani sudah mendapatkan informasi di dalam kitab suci
masing-masing bahwa akan datang rasul yang terakhir bernama Ahmad. Terutama
kaum Yahudi, sangat Yakin bahwa rasul yang terakhir itu lahir dari garis
keturunan Ishak, sehingga akan menjadi kebanggaan mereka, dan mereka harapkan
bisa menjadi peminpin mereka untuk mengalahkan ummat-ummat yang lain. Namun,
ternyata rasul terakhir itu lahir dari garis keturunan Isma’il. Karena itulah,
banyak di antara mereka tidak mau mengakui kerasulan Muhammad karena gengsi
semata. Mereka menutupi kebenaran yang sesungguhnya telah mereka ketahui. Sikap
menutupi itulah yang menyebabkan mereka disebut kafir, berarti orang yang
menutupi (Inggris: to cover).
Namun, itu pun belum cukup. Harus dilengkapi
dengan yang
Ketiga, iman bahwa Muhammad
merupakan rasul terakhir. Konsepsi ini berdasarkan firman Allah: “Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (al-Ahzaab: 40)
Walaupun
telah beriman sebagaimana kriteria pertama dan kedua, tetapi percaya bahwa ada
rasul setelah Muhammad, maka kepercayaan tersebut menjadi rusak, karena
tercampur dengan kepercayaan yang tidak benar. Di antara contohnya adalah para
pengikut Ahmadiah Qadiani yang menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
rasulullah. Sedangkan yang hanya menganggapnya sebagai mujaddid Islam, masih
bisa dianggap sebagai muslim.
Berdasarkan
perspektif di atas, maka iman yang benar menjadi jelas. Demikian pula iman yang
keliru. Karena itu, pluralisme agama sesungguhnya tidak memiliki tempat sama
sekali dalam Islam. Walaupun demikian, dalam pergaukan sosial dan ekonimi,
Islam tidaklah eksklusif. Nabi telah mencontohkan kehidupan bersama dengan entitas-entitas
lain yang berbeda agama. Dalam kehidupan bersama itu, umat Islam harus
benar-benar menjaga kemurnian kriteria keimanan tersebut di atas, sehingga
tidak tercampur dengan konsepsi iman yang sesat, sehingga membuat iman Islam
tetap shahih atau valid. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pendiri Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen, Pamotan, Rembang, Jateng.